Translate

Minggu, 30 Desember 2012


Daftar isi



Otonomi Khusus Papua
Yang Dinamika dan Solusi Pemecahannya
http://ldkibadurrahman.files.wordpress.com/2008/06/logo-umb1.jpg


UNIVERSITAS MUARA BUNGO
2012/2013
BAB I
Pendahuluan

1.         Latar Belakang

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun demikian, amanat pelaksanaan pemerintahan daerah melalui kebijakan desentralisasi yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2000, dalam praktik implementasinya tidaklah mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk ,kualitas intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan dalam UU No. 22 1999 ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua..
Hal ini adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Papua. Otsus Papua sebenarnya didesain sebagai langkah awal dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh demi tuntasnya masalah di Papua. UU Otsus Papua lahir karena sejak penyatuannya ke Indonesia, masih ada persoalan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Papua, belum tercapainya kesejahteraan rakyat, belum tegaknya hukum di Papua, dan belum adanya penghormatan hak asasi manusia (HAM) khususnya terhadap warga Papua.
2.         Rumusan Masalah
Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan berlakunya UU Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah krusial, yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan. Setidaknya ada tiga (3) masalah, yaitu:
1.         Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif dan negative, respon negative seperti permintaan referendum.
2.         Saling ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan masih adanya pelanggaran HAM dan intimidasi pada rakyat Papua, dan telah menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alernatif memisahkan diri dari NKRI.
3.         Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas sumber daya manusia yang ada.
Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah mendasar. Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat segera menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus (Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.
3.         Apa yang Harus Dilakukan
Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini–yang justru atas nama kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.
Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011.
Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus penggunaan dana Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan BPK, selama 2002-2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 28,8 triliun. Tetapi BPK hanya mengaudit 66, 27% dari dana sebesar Rp 19,1 triliun itu dan menemukan ada indikasi penyelewengan sebesar Rp 319 miliar. Hal itulah yang kemudian memunculkan desakan dari berbagai elemen agar KPK RI segera melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik.
Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat menjadi semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan, sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan, terutama di daerah pedalaman Papua.
Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau secara ketat untuk menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua; penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak; pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di samping itu, indikasi penyelewengan dana Otsus Papua yang sudah terjadi harus diusut secara komprehensif, untuk menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab, modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan pengelolaan dana Otsus ke depan.
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat, kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi





BAB II
PEMBAHASAN

1.         Provinsi Papua

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

2.         Wilayah Papua

Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Kondisi Papua Barat, termasuk Papua keseluruhan, hingga hari ini masih berkisah soal ketertinggalan. Pemerintah pun masih berutang kepada Papua. Ternyata, utang tak bisa dibayar dengan guyuran uang. Sebab, utang itu adalah rasa keadilan, kemanusiaan, dan kehidupan layak.
Ketika masyarakat Papua ingin membuka mulut dan beraksi lebih keras menagih hal-hal itu, mereka bisa jadi berhadapan dengan moncong senjata. Alasannya, mereka dikira menggelar aksi separatis.
3.         Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
Otonomi khusus adalah angin surga yang ditawarkan pemerintah ketika orang Papua meneriakkan ”M” (merdeka) pada Kongres Papua 2000. Di atas kertas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua mengamanatkan bahwa warga Papua harus diberikan layanan kesehatan dan pendidikan bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. Pemerintah juga mengakui lambang daerah, seperti bendera dan lagu, sebagai simbol kultural dan jati diri orang Papua. Namun, banyak orang Papua menilai pemerintah kerap mengingkari kata-katanya sendiri.( Ichwan Susanto dan Edna C Pattisina).
Viktor Alex (38) sehari-hari bekerja sebagai pesuruh di Kantor Gubernur Papua. Lulusan SMP itu bukan aktivis. Ia bahkan tidak ikut organisasi yang dengan jelas menggariskan kemerdekaan sebagai agenda perjuangan. Namun, tiba-tiba pada 4 April 2009, ia menaikkan bendera bintang kejora di depan rumahnya. Bendera itu dibuatnya sendiri dari sehelai kain yang ia cat. Ia pun ditangkap dan kini disidangkan dengan tuduhan makar.
”Sudah keinginan seperti itu. Menanti saja saatnya,” katanya dari sela-sela jeruji di Pengadilan Negeri Manokwari, Selasa (26/1). Dalam ingatannya selalu berkelebat cerita kakeknya, Johan, tentang hak orang Papua di tanahnya sendiri. Bekerja di kantor gubernur, ia melihat bagaimana uang tidak pernah sampai ke rakyat, tetapi hanya kepada para pejabat. ”Otsus hanya untuk Papindo (Papua Indonesia) saja,” katanya.
Setelah dua tahun UU No 21/2001 diberlakukan, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden No 1/2003 tentang pemekaran Provinsi Papua. Padahal, jelas dalam Pasal 76 UU No 21/2001 disebutkan, pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Rakyat Papua merasa ditelikung Jakarta.
Dua minggu setelah inpres, Provinsi Irian Jaya Barat diresmikan dengan Abraham Octovianus Atururi sebagai gubernur. Abraham Atururi adalah pensiunan brigadir jenderal marinir dan pernah menduduki jabatan di Badan Intelijen Strategis TNI. Setahun kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan dasar hukum pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, baik UU No 45/1999 maupun Inpres No 1/2003. Namun, dengan alasan provinsi itu telah memiliki alat pemerintahan, seperti DPRD, MK merekomendasikan kepada pemerintah guna membuat dasar hukum lain untuk Provinsi Irian Jaya Barat.

a.         Pemerintahan

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

            1.         Legislatif

Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1 1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.

            2.         Eksekutif

Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
·         orang asli Papua;
·         setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
·         tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
·         tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.

            3.         MRP

MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.
MRP mempunyai tugas dan wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :
·         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
·         memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur;

b.         Parpol

Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

c.         Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

d.         Perekonomian

Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat

           
1.         Bukan sekadar dana
Pemerintah pusat dinilai kurang melakukan tindakan afirmatif dalam membentuk peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) untuk mengaplikasikan jiwa dari UU itu ke dalam bentuk teknisnya. Padahal, perdasi dan perdasus-lah yang mengatur hal-hal yang membuat otonomi Papua menjadi khusus, seperti pendidikan, hak ulayat, kesehatan, adat, dan pengelolaan sumber daya alam.
Di sisi lain, inkonsistensi pemerintah pusat dalam implementasi otsus yang membuat orang Papua semakin termarjinalisasi justru jadi amunisi dalam mempertajam konflik dan ketidakpercayaan antarkedua belah pihak. Akibat ketidakpuasan itu, masalah-masalah lama akhirnya muncul kembali ke permukaan, seperti sejarah integrasi Papua, identitas kultural-politik, serta pelanggaran HAM dan kekerasan.
Ketua Dewan Adat Papua Wilayah 3 Kepala Burung Barnabas Mandacan mencontohkan hak tanah ulayat yang berbenturan dengan hukum positif negara. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sering mengeluarkan sertifikat tidak berdasarkan hak waris. Akibatnya, rakyat Papua yang rugi. ”Kami lahir dan ada sebelum pemerintah ada,” kata Barnabas.
Karena kebutuhan rakyat Papua tidak kunjung terpenuhi itu membuat mereka memandang wajah Indonesia yang lebih ”keras”, seperti tipu daya sampai wajah pos-pos militer yang garang. Markus Yenu, Gubernur Pemerintahan Transisi dari West Papua National Authority (WPNA), mengatakan, otsus terbukti gagal, hak-hak dasar masyarakat Papua tidak diakomodasi lewat regulasi dan afirmasi. MRP, katanya, sebagai gigi palsu yang bisa dicabut dan dipasang kapan saja. Menurut Markus, banyak intelektual Papua yang tengah menuntut ilmu di luar negeri siap membangun Papua.
Bagi Markus, banyaknya aparat militer dan polisi di Papua Barat sebagai bentuk intimidasi agar rakyat tak berani menyuarakan aspirasinya. Kematian Panglima Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Timika Kelly Kwalik, katanya, malah lebih menyalakan api perlawanan garis keras militer gerakan itu.

            2.         Dana Perimbangan

Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
-          Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
-          Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
-          Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
-          Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
-          Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
-          Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
-          Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
-          Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi

            3.         Dana lain-lain

Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

e.         Penegakan Hukum

            1.         Kepolisian

Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

2.         Kejaksaan

Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

3.         Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

f.          Adat Papua dan Perlindungannya

Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua

g.         Hak Asasi dan Rekonsiliasi

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

h.         Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan

Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk menjamin:
·         kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
·         menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
·         mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
·         memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.
Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
i.                    Lingkungan Hidup
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

j.          Lain-lain

Usul perubahan atas UU 21/2001 dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan UU 21/2001 dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku. Pemberian otonomi ini disahkan pada 21 November 2001.

BAB III
Penutup
1.                  KESIMPULAN
Definisi "Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini diterjemahkan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi Papua "sebelum pemekaran" ataukah "setelah pemekaran". Pada waktu UU 21/2001 disahkan. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur dari Provinsi Papua dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini–yang justru atas nama kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.
2.                 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini, semoga ada banyak manfaat buat kita semua.dan jika pula terdapat kekurangan, kami terima dengan lapang dada demi kesempurnaan makalah ini, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar