Otonomi
Khusus Papua
Yang Dinamika
dan Solusi Pemecahannya
UNIVERSITAS
MUARA BUNGO
2012/2013
BAB
I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Momentum
reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran
baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan
itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia pada tahun
1999 dan
2000
menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya.
Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun
kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis
untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu
dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
telah mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun demikian, amanat pelaksanaan pemerintahan daerah
melalui kebijakan desentralisasi yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2000, dalam
praktik implementasinya tidaklah mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu
daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk ,kualitas
intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Kondisi geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan banyak
permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan
keleluasaan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan
pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di
wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan dalam UU No.
22 1999 ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan oleh
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum mampu
mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam
pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua..
Hal ini adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam
rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh
rakyat di Papua. Otsus Papua sebenarnya didesain sebagai langkah awal dalam
rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan
langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh demi tuntasnya
masalah di Papua. UU Otsus Papua lahir karena sejak penyatuannya ke Indonesia,
masih ada persoalan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Papua, belum
tercapainya kesejahteraan rakyat, belum tegaknya hukum di Papua, dan belum
adanya penghormatan hak asasi manusia (HAM) khususnya terhadap warga Papua.
2. Rumusan Masalah
Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan
berlakunya UU Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang
selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran kenyataannya
berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak
terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh
sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap
pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development),
dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa
masalah krusial, yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah
kesejahteraan. Setidaknya ada tiga (3) masalah, yaitu:
1. Ketidaksamaan
pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif dan negative, respon
negative seperti permintaan referendum.
2. Saling
ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan
masih adanya pelanggaran HAM dan intimidasi pada rakyat Papua, dan telah
menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alernatif
memisahkan diri dari NKRI.
3. Masalah
ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas sumber daya
manusia yang ada.
Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah
mendasar. Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya
diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan
dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana
otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat segera
menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus
(Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.
3. Apa yang
Harus Dilakukan
Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di
Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di
Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus
ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini–yang justru atas nama
kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.
Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp
3,83 triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana
Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011.
Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus
penggunaan dana Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan
BPK, selama 2002-2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat alokasi
anggaran sebesar Rp 28,8 triliun. Tetapi BPK hanya mengaudit 66, 27% dari dana
sebesar Rp 19,1 triliun itu dan menemukan ada indikasi penyelewengan sebesar Rp
319 miliar. Hal itulah yang kemudian memunculkan desakan dari berbagai elemen
agar KPK RI segera melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua
yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik.
Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat
menjadi semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas
masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mengakses
pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan,
sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan, terutama
di daerah pedalaman Papua.
Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau
secara ketat untuk menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan
masyarakat Papua; penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-sekolah
termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak;
pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur
sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di samping itu, indikasi
penyelewengan dana Otsus Papua yang sudah terjadi harus diusut secara
komprehensif, untuk menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab,
modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan pengelolaan dana Otsus
ke depan.
Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished
agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk
bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun
kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan
undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan
efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif,
kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan,
perangkat dan kebijakan yang tepat, kerangka yang sebaiknya dibangun dalam
upaya memperkukuh integrasi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Provinsi Papua
Provinsi
Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi
Papua dan Provinsi
Papua Barat
yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan
kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi
Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi
Papua sebagai bagian dari NKRI menggunakan Sang Merah Putih sebagai
Bendera Negara dan
Indonesia Raya sebagai
lagu kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki
lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati
diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak
diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
2. Wilayah Papua
Provinsi
Papua terdiri atas Daerah
Kabupaten dan Daerah
Kota yang masing-masing
sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.
Distrik (dahulu
dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat
daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah
kampung atau yang
disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten/Kota.
Di dalam
Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua
menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan
MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan
sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Kondisi Papua
Barat, termasuk Papua keseluruhan, hingga hari ini masih berkisah soal
ketertinggalan. Pemerintah pun masih berutang kepada Papua. Ternyata, utang tak
bisa dibayar dengan guyuran uang. Sebab, utang itu adalah rasa keadilan,
kemanusiaan, dan kehidupan layak.
Ketika
masyarakat Papua ingin membuka mulut dan beraksi lebih keras menagih hal-hal
itu, mereka bisa jadi berhadapan dengan moncong senjata. Alasannya, mereka
dikira menggelar aksi separatis.
3. Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua
Otonomi
khusus adalah angin surga yang ditawarkan pemerintah ketika orang Papua
meneriakkan ”M” (merdeka) pada Kongres Papua 2000. Di atas kertas,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi
Papua mengamanatkan bahwa warga Papua harus diberikan layanan kesehatan dan
pendidikan bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. Pemerintah juga
mengakui lambang daerah, seperti bendera dan lagu, sebagai simbol kultural dan
jati diri orang Papua. Namun, banyak orang Papua menilai pemerintah kerap
mengingkari kata-katanya sendiri.( Ichwan Susanto dan Edna C Pattisina).
Viktor Alex
(38) sehari-hari bekerja sebagai pesuruh di Kantor Gubernur Papua. Lulusan SMP
itu bukan aktivis. Ia bahkan tidak ikut organisasi yang dengan jelas
menggariskan kemerdekaan sebagai agenda perjuangan. Namun, tiba-tiba pada 4
April 2009, ia menaikkan bendera bintang kejora di depan rumahnya. Bendera itu
dibuatnya sendiri dari sehelai kain yang ia cat. Ia pun ditangkap dan kini
disidangkan dengan tuduhan makar.
”Sudah
keinginan seperti itu. Menanti saja saatnya,” katanya dari sela-sela jeruji di
Pengadilan Negeri Manokwari, Selasa (26/1). Dalam ingatannya selalu berkelebat
cerita kakeknya, Johan, tentang hak orang Papua di tanahnya sendiri. Bekerja di
kantor gubernur, ia melihat bagaimana uang tidak pernah sampai ke rakyat,
tetapi hanya kepada para pejabat. ”Otsus hanya untuk Papindo (Papua Indonesia)
saja,” katanya.
Setelah dua
tahun UU No 21/2001 diberlakukan, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan
Instruksi Presiden No 1/2003 tentang pemekaran Provinsi Papua. Padahal, jelas
dalam Pasal 76 UU No 21/2001 disebutkan, pemekaran Provinsi Papua menjadi
provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Rakyat Papua merasa ditelikung Jakarta.
Dua minggu
setelah inpres, Provinsi Irian Jaya Barat diresmikan dengan Abraham Octovianus
Atururi sebagai gubernur. Abraham Atururi adalah pensiunan brigadir jenderal
marinir dan pernah menduduki jabatan di Badan Intelijen Strategis TNI. Setahun
kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan dasar hukum pembentukan
Provinsi Irian Jaya Barat, baik UU No 45/1999 maupun Inpres No 1/2003. Namun,
dengan alasan provinsi itu telah memiliki alat pemerintahan, seperti DPRD, MK
merekomendasikan kepada pemerintah guna membuat dasar hukum lain untuk Provinsi
Irian Jaya Barat.
a. Pemerintahan
Pemerintahan
Daerah Provinsi Papua terdiri atas
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP)
sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan
representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama.
1. Legislatif
Kekuasaan
legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. Jumlah anggota DPRP adalah 1
1/4 (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah
anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi
maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.
2. Eksekutif
Pemerintah
Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif
yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut
Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan
dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan
Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara
Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
·
orang asli Papua;
·
setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
·
tidak pernah dihukum penjara karena
melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
·
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali
dipenjara karena alasan-alasan politik.
3. MRP
MRP
beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat,
wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing
sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan
dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota
MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.
MRP mempunyai tugas dan
wewenang, yang diatur dengan Perdasus, antara lain :
·
memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap bakal calon Gubernur
dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan
·
memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan
Gubernur;
b. Parpol
Penduduk
Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai
politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli
Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi
dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
c. Peraturan
Daerah
Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka
pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan
oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP.
Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam
rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama
Gubernur.
d. Perekonomian
Usaha-usaha
perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan
dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian
hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan
pembangunan yang berkelanjutan, yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Pembangunan
perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang
dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam
perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah
Provinsi
Papua
harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian
kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat
1. Bukan
sekadar dana
Pemerintah
pusat dinilai kurang melakukan tindakan afirmatif dalam membentuk peraturan
daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) untuk
mengaplikasikan jiwa dari UU itu ke dalam bentuk teknisnya. Padahal, perdasi
dan perdasus-lah yang mengatur hal-hal yang membuat otonomi Papua menjadi
khusus, seperti pendidikan, hak ulayat, kesehatan, adat, dan pengelolaan sumber
daya alam.
Di sisi lain,
inkonsistensi pemerintah pusat dalam implementasi otsus yang membuat orang
Papua semakin termarjinalisasi justru jadi amunisi dalam mempertajam konflik
dan ketidakpercayaan antarkedua belah pihak. Akibat ketidakpuasan itu,
masalah-masalah lama akhirnya muncul kembali ke permukaan, seperti sejarah
integrasi Papua, identitas kultural-politik, serta pelanggaran HAM dan
kekerasan.
Ketua Dewan
Adat Papua Wilayah 3 Kepala Burung Barnabas Mandacan mencontohkan hak tanah
ulayat yang berbenturan dengan hukum positif negara. Badan Pertanahan Nasional
(BPN) sering mengeluarkan sertifikat tidak berdasarkan hak waris. Akibatnya,
rakyat Papua yang rugi. ”Kami lahir dan ada sebelum pemerintah ada,” kata
Barnabas.
Karena
kebutuhan rakyat Papua tidak kunjung terpenuhi itu membuat mereka memandang
wajah Indonesia yang lebih ”keras”, seperti tipu daya sampai wajah pos-pos
militer yang garang. Markus Yenu, Gubernur Pemerintahan Transisi dari West
Papua National Authority (WPNA), mengatakan, otsus terbukti gagal, hak-hak
dasar masyarakat Papua tidak diakomodasi lewat regulasi dan afirmasi. MRP,
katanya, sebagai gigi palsu yang bisa dicabut dan dipasang kapan saja. Menurut
Markus, banyak intelektual Papua yang tengah menuntut ilmu di luar negeri siap
membangun Papua.
Bagi Markus,
banyaknya aparat militer dan polisi di Papua Barat sebagai bentuk intimidasi
agar rakyat tak berani menyuarakan aspirasinya. Kematian Panglima Tentara
Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Wilayah Timika Kelly Kwalik,
katanya, malah lebih menyalakan api perlawanan garis keras militer gerakan itu.
2. Dana
Perimbangan
Dalam rangka
otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya)
mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:
-
Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan
puluh persen)
-
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebesar 80% (delapan puluh persen)
-
Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua
puluh persen)
-
Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
-
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
-
Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh
persen)
-
Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen)
selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima
puluh persen)
-
Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen)
selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima
puluh persen).
Sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam
dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas
persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
3. Dana lain-lain
Dana Alokasi
Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
memberikan prioritas kepada Provinsi
Papua. Penerimaan
khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang ditujukan untuk pembiayaan
pendidikan dan kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana
tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan
antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun
anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
e. Penegakan Hukum
1. Kepolisian
Tugas
Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua
sebagai bagian dari
Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur
Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian
Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah
Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan
kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi
bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua
diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di
Provinsi Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara
Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya
dan adat istiadat di daerah penugasan.
2. Kejaksaan
Tugas
Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari
Kejaksaan
Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua
dilakukan oleh
Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan
Gubernur.
3. Peradilan
Kekuasaan
kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui
adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat
adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai
kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di
antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat
disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Pengadilan
adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana
berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat
tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana
yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga
masyarakat hukum adatnya.
Hukum Adat
adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat,
mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum
Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah
tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa
solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Pengadilan
adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan
pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan
pemeriksaan ulang oleh pengadilan tingkat pertama, menjadi putusan akhir dan
berkekuatan hukum tetap.
f. Adat Papua
dan Perlindungannya
Adat adalah
kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh
masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib
mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak
masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan
terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi
di antara para anggotanya.
Hak-hak
masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat
adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang
meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah
perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan
melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun
imbalannya.
Orang asli
Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan
dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan
dan keahliannya. Dalam hal mendapatkan pekerjaan di bidang peradilan, orang
asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa
di Provinsi Papua. Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras
Melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima
dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan
penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku
terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua
g. Hak Asasi dan
Rekonsiliasi
Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan,
melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal itu
Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan
Hak Asasi Manusia, dan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
di Provinsi Papua. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan,
Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan
perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya
sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
Dalam rangka
pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah
melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan
langkah-langkah rekonsiliasi.
h. Agama,
Pendidikan, dan Kebudayaan
Setiap
penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk
menjamin:
·
kebebasan, membina kerukunan, dan
melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
·
menghormati nilai-nilai agama yang
dianut oleh umat beragama;
·
mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
·
memberikan dukungan kepada setiap
lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak
bersifat mengikat.
Pemerintah
mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang
keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.
Pemerintah
Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua
jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi
wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah
Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa
dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.
Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa
Inggris
ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Bahasa daerah
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai
kebutuhan.
i.
Lingkungan Hidup
Pemerintah
Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara
terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam
hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta
perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
j. Lain-lain
Usul
perubahan atas UU 21/2001 dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP
dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan UU 21/2001 dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya
dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku. Pemberian otonomi
ini disahkan pada 21 November 2001.
BAB III
Penutup
1.
KESIMPULAN
Definisi
"Provinsi Papua" yang dimaksud dalam UU ini diterjemahkan secara
berbeda-beda oleh berbagai pihak, apakah itu Provinsi Papua "sebelum
pemekaran" ataukah "setelah pemekaran". Pada waktu UU 21/2001
disahkan. Dalam perkembangannya, bagian sebelah timur dari Provinsi Papua
dipisahkan menjadi Provinsi Papua Barat. Pemberlakuan otonomi khusus bagi
Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan
segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang
sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
telah mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,
hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di
Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di
Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus
ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini–yang justru atas nama
kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.
2.
Saran
Dengan
dibuatnya makalah ini, semoga ada banyak manfaat buat kita semua.dan jika pula
terdapat kekurangan, kami terima dengan lapang dada demi kesempurnaan makalah
ini, terima kasih.